Iklan

Congyang, Minuman Fermentasi Legendaris Semarang yang Lahir dari Akulturasi Tionghoa–Jawa

Jumat, 24 Oktober 2025, Oktober 24, 2025 WIB Last Updated 2025-10-24T19:22:26Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini



SEMARANG |HarianWAWASAN.com — Warnanya merah tua, beraroma moka, rasanya manis-kecut, dan menimbulkan sensasi hangat di perut setelah diteguk. Minuman beralkohol khas Semarang itu dikenal luas dengan nama Congyang, atau akrab disingkat CY. Minuman fermentasi ini dikemas dalam botol gelap bergambar tiga pria berpakaian tradisional Tionghoa—salah satunya tampak tengah menyuguhkan minuman.


Congyang merupakan hasil fermentasi beras putih, gula, spirit, dan perisa moka, dengan kadar alkohol mencapai 19,66 persen yang menempatkannya pada golongan minuman beralkohol kelas B. Meski populer dengan nama Congyang, sejatinya minuman ini memiliki label resmi Cap Tiga Orang.


Seperti banyak kuliner khas Semarang lainnya, Congyang lahir dari akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa. Minuman ini diracik pertama kali pada era 1980-an oleh Koh Tiong, warga keturunan Tionghoa yang tinggal di kawasan Wotgandul, Pecinan Semarang.


Pada masa awal kemunculannya, Congyang dikemas secara tradisional menggunakan besek (anyaman bambu) dan dami (batang padi kering) sebagai pelindung botol agar tidak pecah. Kini, kemasan tersebut berganti wujud menjadi botol modern dengan label tiga figur pria Tionghoa yang menjadi ciri khasnya.


Menurut cerita warga Pecinan, Congyang awalnya diciptakan Koh Tiong sebagai minuman penambah stamina bagi pria. Resepnya merupakan inovasi dari minuman terdahulu bernama A Djong, yang berasal dari ramuan obat tradisional Tiongkok. Pada masanya, A Djong cukup kondang hingga melahirkan istilah “mabuk A Djong” untuk menggambarkan seseorang yang hilang kendali karena minuman keras.


Budayawan Semarang Prie GS menilai Congyang menempati posisi ambigu di tengah masyarakat. “Sejak awal Congyang lebih dekat pada industri daripada tradisi,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Menurut Prie GS, hal itu membuat Congyang berbeda dengan minuman fermentasi lain seperti sake di Jepang atau sopi di Nusa Tenggara Timur yang memiliki peran budaya dalam upacara adat.


Meski demikian, Congyang terus bertahan dan kini telah mengantongi izin resmi produksi dan peredaran dari BPOM RI dan Bea Cukai. Minuman ini hadir dalam dua ukuran kemasan, yaitu tolde (botol besar) dan tolik (botol kecil), dengan distribusi yang masih terbatas di wilayah Semarang dan sekitarnya, serta umumnya dijual di warung-warung tradisional.


Bagi penikmatnya, Congyang bukan hanya minuman beralkohol, tetapi juga buah tangan khas Kota Atlas yang membawa cerita panjang perjalanan budaya. Seiring waktu, Congyang menjelma menjadi jejak sejarah dan simbol akulturasi etnis Tionghoa di Semarang, sebuah identitas lokal yang tidak dapat dipisahkan dari kota yang kaya tradisi ini.


Kini, Congyang bukan lagi sekadar minuman yang identik dengan kata “mabuk”, melainkan bagian dari warisan budaya dan cita rasa lokal yang patut dikenali sebagai unsur keberagaman Semarang.(Listina)

Komentar

Tampilkan

Terkini